Sambaran angin Samudra Atlantic yang dahsyat membuat tubuhku tergetar dan hampir terpelanting. Anehnya, domba-domba hanya berdiri tenang menikmati sarapan paginya. Para segerombolan tupai sibuk menggali lubang rahasia, dan dari kejauhan tampak domba-domba hitam berjejeran seperti semut. Didepanku kini hamparan lapangan rumput hijau, di balik pematang panjang bebatuan tua. Saya menampar pipi, membangunkan diri dari mimpi, mungkin ini benar-benar di negeri dongeng, Scotlandia.
Jauh dibagian utara bumi, berbatasan dengan samudra Atlantic, Pulau Iona berada tepat di sebelah barat Scotlandia. Perlu memakan waktu 6 jam dari Glasgow, kota besar di negeri Scotlandia dengan menggunakan transportasi ferry, kereta dan bus. Hamparan hijau, surga bagi domba dan sapi. Hanya ada 150-an penduduk yang mendiami pulau sebesar 2 x 6 kilometres ini. Cuaca di pulau ini bisa 4 musim dalam satu hari, tinggal selama seminggu disini, saya sudah merasakan hujan salju, panas mentari, badai dan dingin.
Iona dikenal sebagai tempat napak tilas, dimana St Columba dari Irlandia yang menyebarkan kekristenan bagi bangsa Gaelic atau Celtic (penduduk asli Scotlandia) di tahun 563 M. Keunikan desa ini bukan sekedar tempat wisata umumnya seperti wilayah Scotlandia lainnya (Lochness, Isle of Skye, Edinburg, dll). Disini, kita menemukan 2 jenis pengunjung, yaitu peziarah dan pendaki.
Ada satu gereja tua dan sangat bersejarah bernama Gereja Abbey, setiap hari gereja ini membuka ibadah setiap pagi dan malam hari masing-masing selama 45 menit. Disetiap evenings service terdapat tema-tema yang berbeda misalnya service of quite, service of justice, peace and the integrity of creation, service of prayer for healing, service of creativity and commitment, service of communion and agape service dan service of reflection. Meskipun tempat ini merupakan ziarah nasrani, tentu saja pengunjung tempat ini tidak hanya eksklusif bagi nasrani. Tempat ini sangat terbuka bagi siapapun yang ingin melakukan kontemplasi, solitude, mencari ketenangan dan kedamaian. Saya ketemu dengan relawan yang ternyata mereka berasal dari banyak bagian dunia seperti Canada, German, Uganda, Brazil, dan negara-negara lainnya.
Disini memang pulau kontemplasi, tapi bukan berarti menyediri :), disini para peziarah justru bekerjasama dengan komunitas lokal. Kami tidur di kamar asrama dengan 6 orang dalam satu ruangan, setiap pagi kami punya tugas masing-masing seperti membersihkan rumah atau memasak. Saya kebagian tugas dapur. Yang menarik adalah tidak ada diskriminasi gender disini, semua punya peran baik pekerjaan dapur maupun rumah. Puncak kegiatan disini yaitu pilgrimage (ziarah) memutari seluruh pulau. Kegiatan ini dilakukan selama 6 jam dimana ada beberapa titik perhentian yang digunakan untuk perenungan dan doa.
Diluar kegiatan doa pagi, doa malam, pilgrimage, komuni dan tugas harian, kita bebas untuk mengikuti beberapa sesi yang disediakan oleh komunitas seperti isu lingkungan mengenai kesadaran akan laut kita yang sudah dipenuhi oleh sampah plastik, mengenal tentang rumput laut serta ruang kreativitas bagi siapapun yang ga suka keluar rumah karena dingin :). Kita juga ikut acara keakraban diluar kegiatan Napak Tilas seperti belajar budaya – scottish dance – dan kumpul-kumpul dengan teman dari berbagai ras dan bangsa di cafe.
Disela aktivitas padat tersebut, perenungan dan doaku adalah inti dari perjalanan ini. Mendoakan khusus orang-orang disekitarku dan menikmati theme song selama di Iona by Anastassya Sari Purba:
“I contemplate God, I am able to see three elements in Iona, I learn something about myself, the people in around my life (both strangers and friends) and reconnecting with earth. Firstly, I recognize that I am born for good, i am fearfully and wonderfully made, because i am made of God (not just made by God). Secondly, I learned to connect my cause-effect relationship with the wisdom of nature and earth. Lastly, i realize that our true well-being is not in isolation, but in relationship with others and community” (Tira 2017).